Karya : Gaitsa Sabah
Setiap kali terdengar gemerincing dari deretan kunci yang dimainkan, aku tahu itu dia. Lelaki yang baru satu minggu menjadi tetanggaku –satu-satunya– di ujung lorong apartemen di lantai tiga.
Gedung yang sangat kecil dan terpencil membuat tidak banyak orang yang mengetahui apartemen ini. Mungkin hanya segelintir orang yang memiliki kenalan penghuni sebelumnya, atau sempat tersasar dan merasa tertolong ketika menemukan tempat tinggal dengan biaya sewa yang sangat murah.
Maklum saja, hidup di kota besar memang butuh pertimbangan matang perihal biaya tinggal dan segala urusan lainnya. Sempat tidak memiliki tetangga di lantai paling atas; hidup seakan-akan terasing, tidak membuatku gentar asalkan bisa tidur nyaman tanpa harus memikirkan biaya sewa yang mencekik.
Bahkan ketika akhirnya memiliki seorang tetangga baru, pun sedikitnya membawa angin segar, mengingat akan ada suara langkah lain yang kudengar di lantai yang sama. Walau akhirnya, justru membuatku sering begadang memikirkan keadaannya.
Malam itu, aku mengintipnya lagi. Dari celah kunci yang teramat kecil, memang terdengar mustahil bisa melihat detail keadaannya malam itu. Namun dari suara langkah yang agak terseret dan beberapa kali suara benturan di dinding, aku menebak dia pulang dalam keadaan yang sama.
Wajah pucat dan tatanan rambut yang agak berantakan, begitulah penampilannya beberapa hari ini yang sempat kuperhatikan. Belum lagi langkah terhuyung yang berulang kali dia tunjukkan ketika menyusuri lorong apartemen di tengah malam; seolah-olah sepasang kaki tidak lagi sanggup menopang tubuh di atasnya.
Aku memincing mata, lalu tertegun. Apakah bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe begitu sangat melelahkan? Atau dia memang seorang pemabuk yang sangat suka pulang tengah malam?
Helaan napas panjang menarikku pada kesadaran sepenuhnya. Mendengar detak jarum jam yang menempel di dinding, juga celah kunci yang terlupa. Rupanya keadaan di luar sudah kembali hening; entah kapan lelaki itu membuka kunci pintu dan masuk ke kamar apartemennya.
Aku pun kembali tertegun. "Nyatanya ... aku memang belum mengenalnya dengan baik," ungkapku lirih dari kerongkongan kering karena rasa dahaga yang datang tiba-tiba.
EmoticonEmoticon