SYAHADAT
Karya: Nizam Al-Kahfi PKB
"Gak apa," katanya, memandangku dengan senyum yang lembut. "Walau kita tidak solat asal kita jangan jahat sedikit pun pada sesiapa."
Ia kakakku, sudah berusia 74 tahun. Ia orang baik. Sepanjang pengetahuanku ia tidak pernah jahat pada sesiapa, baik dari tutur kata maupun perlakuannya. Cuma itu saja, ia tidak pernah solat. Istrinyalah yang menyuruh aku, sebagai saudara kandung tunggal suaminya itu, untuk memberi menasihat. Memang dari dulu aku sudah pun berusaha, sebaik yang termampu. Aku cuma mengajak sekadarnya, dan tidak mahu menceramahinya apalagi menghujah kata-katanya itu. Takut apabila dihujah ia akan menghujah kembali dengan kata-kata yang mengundang kemurkaan Allah. Itu kebenaran yang diimaninya dari dulu, sejak remaja hingga sekarang. Tiada sesiapa suka kepercayaannya digugat, apalagi oleh orang sepertiku yang tidak mendalam ilmu agamanya, lebih-lebih lagi aku seorang adik. Ia lebih lima belas tahun tua dariku. Jika ada apa-apa, usia seperti ini juga bukanlah saat yang bersaudara saling bergeser.
Sebelum pensiunan, ia seorang pejabat pertanian yang berpangkat besar dan sibuk juga (sekarang berkebun buah-buahan), punya dua orang anak. Isterinya sudah menunaikan ibadah haji. Ia sendiri tidak mahu. Belum bersedia, katanya. Alhamdulillah, anak-anaknya tidak terpengaruh dengan pegangan bapa mereka itu. Menurut anak-anaknya itu, mereka juga sudah berusaha, namun hujah itulah juga yang diulang-ulangi bapa mereka: 'Walau kita tidak solat asal kita jangan jahat sedikit pun pada seseorang.'
"Dan memang bapa tidak pernah jahat pada sesiapa pun."
Sudah aku soal apa cacatnya dengan 'statement' bapa mereka itu.
"Paman," kata mereka hampir-hampir serentak, "itu hanya alasan dibuat-buat oleh orang yang terlanjur gak pernah solat sepanjang hidupnya."
"Kalau itu benar," kata anak yang tua, "kebalikannya juga benar."
"Apa tuh kebalikannya?" soalku. "Jujur, aku belum terfikirkan."
"Boleh buat jahat sebanyak-banyaknya kepada semua orang asal kita tidak tinggal solat," kata yang bungsu. "Itu kebalikannya, Paman."
Aku menyarankan agar mereka selalu mendoakannya. Mohon keampunan dan petunjuk untuknya. Hidayah itu prerogatif Allah.
"Mintalah pada Allah untuk bapa kamu," kataku. "Dalam kasus ini kamu tidak akan bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Ia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. Jangan lelah meminta itu saja."
Sekitar jam sebelas pagi kamaren aku menerima panggilan telepon dari anaknya yang tertua. Katanya bapanya hilang.
"Mama khawatir banget terjadi apa-apa padanya," katanya. "Bapa keluar jam tujuh pagi tadi, mau ambil pensiunannya di ATM, dan sampai sekarang belum pulang."
Aku hampir-hampir saja tertawa. Itu baru empat jam. Pasti ada urusan-urusan lain yang dibuatnya. Aku rasa kakakku itu belum pikun, ia sendiri yang menyetir mobil yang baru dibelinya. Istrinya saja yang berlebihan khawatir. Aku dipanggil ke rumahnya untuk bersolat hajat memohon supaya kakakku itu cepat pulang. Baru empat jam hilang sudah sibuk banget. Aku ke sana. Kata mereka telponnya tidak bisa dihubungi lagi.
"Kali dia ada istri muda rahasia, kak," aku menduga istri kakakku.
"Kau jangan bercanda," jawabnya. "Dia tidak pernah berbuat jahat pada sesiapa pun, jauh sekali padaku."
Kekhawatirannya berasas juga, karena sampai jam enam sore kakakku itu belum juga pulang-pulang. Banyak kemungkinan yang dibayangkan istrinya, misalnya suaminya itu didicolek lalu dibunuh, dan mobil baru mewahnya dibawa lari; atau ia dirampok lalu dibunuh dan mayatnya dibuang di longkang; atau organ-organ tubuhnya diambil untuk dijual. Itu keterlaluan - aku rasa organ orang tua tidak akan laku dijual.
Sekitar jam tujuh malam, selesai kami solat Magrib dan solat hajat berdoa untuknya, kami terdengar bunyi mobilnya masuk di pekarangan rumah. Istrinya menyambut dengan histeris.
"Aku hilang ingatan," ceritanya. "Gak tau aku di mana. Aku tersesat dari pagi sampai magrib mencari jalan pulang. Aku gak ingat apa-apa."
Katanya ia menyetir dan menyetir, dan semakin jauh jalannya semakin ia bingung, ia tidak ingat di mana rumahnya, atau siapa dia.
"Tapi Allah Maha Pengasih padaku," katanya.
Barangkali itulah pertama kali, untuk sekian lamanya, aku mendengar ia menyebut nama Allah. Katanya selama hilang ingatan itu ia ingat hanya satu: syahadah.
"Asyhadu al-laa ilaaha Illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah," katanya. "Entah bagaimana syahadah itu tumben muncul di dalam kepalaku."
Sahadah itulah yang diulang-ulanginya tanpa henti-henti sehingga perlahan-lahan ingatannya kembali dan ia menemukan jalan pulang.
"Baru sekarang aku ingat siapa aku," katanya.
Malam itu ia ikut kami berjemaah solat Isya.
*selesai*
EmoticonEmoticon