![]() |
Cerpen Bahagiaku |
BAHAGIAKU
Oleh : Ita O'Riny Habeahan
Aku duduk di sudut kamar. Menatap sayu sebuah photo di dalam bingkai kotor. Meresapi keindahan dan kebahagiaan yang tersimpan di memori itu. Sepasang anak manusia berbalutkan pakaian pengantin, membubuhkan senyum di acara sakral. Lima tahun mereka berpacaran, suka duka terlewati dan akhirnya menikah. Ku tutup mataku yang sudah sembab karena menangis. Lenganku memar, tapi tidak sakit seperti hatiku. Pipiku merah disapa telapak tanganmu, tapi tidak sakit seperti hatiku. Sudut kiri bibirku mengeluarkan sebercak darah karena tamparanmu, tapi tidak sakit seperti hatiku.
"Suamiku, apa salahku? Lupakah kau akan rasa bahagia kita dulu? Atau aku sudah tidak cantik lagi?" bisikku lirih, sambil membuka mata.
Tiga bulan lalu, aku divonis mengidap AIDS. Aku seorang ibu rumah tangga yang setia. Yang mengabdikan hidupku untuk seorang suami dan anak perempuanku Eci, yang berumur 5 tahun.
Saat Eci berumur 3 tahun, suamiku mulai bertingkah aneh. Pulang kerja langsung ke diskotik bersama teman barunya di kantor. Setiba di rumah, dia selalu dalam keadaan mabuk. Sejak saat itu, keindahan rumah tanggaku sirna. Kerap kali aku mendapatkan pukulan, tamparan, tendangan bahkan jambakan, jika dia ki tegur soal kebiasaannya. Ah ... suamiku sebenarnya orang baik, dia hanya salah pergaulan.
Setahun belakangan ini, aku seringkali sakit. Setiap sakitku merujuk kepada tanda-tanda penderita AIDS. Dengan tekad kuat dan hati hancur, aku memaksakan diri periksa kondisiku.
"Aku tidak ingin mati," gumamku lirih di bangku rumah sakit, sambil menatap lembaran kertas itu.
Penyakit itu merampas senyumku. Aku memikirkan anakku yang tidak pernah lagi mendapatkan belaian dari tangan suamiku. Hanya pukulan dan bentakan yang selalu didapatnya.
Suamiku doyan "jajan". Dia selalu berkata bosan melihatku.
"Yem .... kau sudah tua, bau apek dan tidak cantik lagi. Aku muak melihatmu," suamiku berkata sambil meludah lalu pergi meninggalkanku begitu saja. Meninggalkanku di ranjang tempat kita biasa berpacu menuntaskan nafsu. Pernah ... ah, seringkali dia pulang ke rumah bersama wanita-wanita pinggir jalan. Aku marah, tapi justru aku yang mendapatkan pukulan dan tamparan. Lama-lama aku bosan marah. Aku sudah pernah mengajukan cerai, tapi suamiku memohon dan berkata akan memperbaiki keadaan. Dan aku percaya.
Tubuhku makin kurus, aku mulai tidak bisa mengurus anakku. Hingga ku putuskan untuk menitipkan anakku di rumah adikku, Shanum. Dia sudah menikah, tapi belum mempunyai anak. Walau berat, tapi ini keputusan yang tepat yang harus ku lakukan untuk menyelamatkannya dari badai rumah tangga. Anakku selalu menangis memeluk tubuhku, setiap aku habis dipukul suamiku
Aku harus bangkit dan mengakhiri derita ini. Aku bangun dari sudut kamar, meletakkan bingkai foto di tempatnya semula. Aku bergegas mandi, mengganti pakaianku dengan lingerie yang dulu suamiku belikan untukku. Aku pakai parfum kesukaanku. Aroma anggrek memenuhi ruangan kamar. Lama ku tunggu suamiku pulang dari acara dugemnya. Suamiku pergi setelah bertengkar denganku. Dia meminta uang, tapi aku tidak punya uang. Lalu, suamiku marah. Memukul tanganku dan menamparku.
Ting tong ...
Bel rumah berbunyi. Terburu-buru aku buka pintu. Suamiku masuk dengan langkah terhuyung karena mabuk. Dia menatap ku sekilas.
"Wanita tua busuk," makinya padaku sambil berjalan.
Aku tersenyum lirih.
"Sudahlah, ayo kita tidur," ajakku lembut.
Sesampainya di kamar, aku membantunya berganti baju yang penuh muntahan akibat mabuk. Lalu aku membantunya tidur di tempat tidur. Dia langsung tertidur lelap.
"Suamiku ..., aku mencintaimu," ucapku lirih. Senyumku mengambang di udara. Dan ...
"Aaaa ..."
Teriakan itu membuatku tertawa. Dengan cepat, aku keluar rumah, meninggalkan semua kenangan itu.
Kini, aku tersenyum bebas di balik jeruji. Tertawa bersama teman baruku. Aku tidak memberi tahu siapapun perihal penyakitku. Aku memilih mati dengan damai di penjara.
"Suamiku, apa yang akan kau lakukan tanpa "senjatamu" itu?" ucapku pelan saat aku mulai lelap dilantai penjara.
**END**
EmoticonEmoticon