![]() |
Cerpen Hujan |
Hujan
Oleh : Meli Rahmadani
Oleh : Meli Rahmadani
“Hhh, hujan lagi” keluh seorang gadis berparas cantik dari dalam kamarnya. Gadis itu biasa dipanggil dengan Rahma. Dia sangat mencintai semua hal yang berbau hujan. Alasannya sangat sederhana. Bagi Rahma, hujan itu memiliki nada-nada yang membuatnya merasa sangat damai dan tenang. Dari sekian tumpukan buku-buku yang ia baca, baik itu novel maupun komik, dia juga menemukan banyak keistimewaan dari suatu hujan. Hujan memiliki sisi yang sangat romantis. Di kala seseorang jatuh cinta maupun dikala seseorang mengalami kesulitan, hujan dapat mengatasi hal itu. Baginya hujan adalah perantara terindah yang diberikan sang pencipta untuknya. Walaupun begitu di dalam hatinya ada juga sedikit rasa bencinya pada hujan. Hujan membuatnya tak bisa menjelajahi dunia. Entah mengapa, di saat ia ingin melakukan sesuatu yang ia suka diluar sana, hujan selalu menghalangi dirinya.
“Andai aja gue jadi seberuntung cewek-cewek di novel ini” gumamnya sambil membayangkan dirinya berada dalam novel yang ia baca saat ini. Sesaat kemudian, ia menggelengkan kepalanya berusaha keluar dari lamunannya itu. “Aish, Rahma lo enggak boleh berandai-andai kayak gitu. Mana mungkin cewek kayak lo bisa ngerasain yang gituan. Hhh, dasar over” rutuknya. Hujan deras di luar sana benar-benar membuatnya merasa bosan, hingga rasa kantuk kini menjelma dalam dirinya. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan jam sembilan malam. Dia harus tidur secepatnya. Jika tidak, ia akan terlambat berangkat ke sekolah besok. Mau tak mau buku yang sedang bersender di tangan lembutnya harus ia tutup sekarang juga. Padahal, ia baru saja membaca bukunya itu.
Bagaimanapun juga, Rahma tetap terlambat bangun, sampai-sampai ia tergesa-gesa seperti itu. Sebenarnya Mamanya sudah membangunkannyasejak tadi, tapi karena sifat Rahma yang seperti kerbau, tidur lama-lama. Sepanjang perjalanan Rahma terus saja mengomeli dirinya yang sangat teledor itu. Bahkan, makanan yang sudah terhidang di meja makan saja sudah tak sempat ia nikmati lagi. Untung saja gerbang sekolah belum tertutup sepenuhnya. Tapi jika dilihat-lihat, sekolah mulai sepi, pasti bel sudah berbunyi sejak tadi. Ia harus cepat-cepat sampai ke kelas sebelum Pak Santoso, guru matematika yang terkenal sangat killer seantero sekolah menghukumnya tanpa ampun.
“Maaf, Pak, saya telat. Tadi saya agak telat bangunnya, tapi saya sudah berusaha buat cepet kok, Pak. Maaf, pak, jangan hukum saya” racaunya setelah ia sampai di kelas. Ia benar-benar tak berani melihat wajah gurunya itu, bisa-bisa tatapan tajam gurunya bisa membuatnya serangan jantung. Eh, tapi mengapa teman-teman sekelasnya justru menertawakannya? Sepertinya ada yang tidak beres dengan suasana di kelasnya itu.
“Andai aja gue jadi seberuntung cewek-cewek di novel ini” gumamnya sambil membayangkan dirinya berada dalam novel yang ia baca saat ini. Sesaat kemudian, ia menggelengkan kepalanya berusaha keluar dari lamunannya itu. “Aish, Rahma lo enggak boleh berandai-andai kayak gitu. Mana mungkin cewek kayak lo bisa ngerasain yang gituan. Hhh, dasar over” rutuknya. Hujan deras di luar sana benar-benar membuatnya merasa bosan, hingga rasa kantuk kini menjelma dalam dirinya. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan jam sembilan malam. Dia harus tidur secepatnya. Jika tidak, ia akan terlambat berangkat ke sekolah besok. Mau tak mau buku yang sedang bersender di tangan lembutnya harus ia tutup sekarang juga. Padahal, ia baru saja membaca bukunya itu.
Bagaimanapun juga, Rahma tetap terlambat bangun, sampai-sampai ia tergesa-gesa seperti itu. Sebenarnya Mamanya sudah membangunkannyasejak tadi, tapi karena sifat Rahma yang seperti kerbau, tidur lama-lama. Sepanjang perjalanan Rahma terus saja mengomeli dirinya yang sangat teledor itu. Bahkan, makanan yang sudah terhidang di meja makan saja sudah tak sempat ia nikmati lagi. Untung saja gerbang sekolah belum tertutup sepenuhnya. Tapi jika dilihat-lihat, sekolah mulai sepi, pasti bel sudah berbunyi sejak tadi. Ia harus cepat-cepat sampai ke kelas sebelum Pak Santoso, guru matematika yang terkenal sangat killer seantero sekolah menghukumnya tanpa ampun.
“Maaf, Pak, saya telat. Tadi saya agak telat bangunnya, tapi saya sudah berusaha buat cepet kok, Pak. Maaf, pak, jangan hukum saya” racaunya setelah ia sampai di kelas. Ia benar-benar tak berani melihat wajah gurunya itu, bisa-bisa tatapan tajam gurunya bisa membuatnya serangan jantung. Eh, tapi mengapa teman-teman sekelasnya justru menertawakannya? Sepertinya ada yang tidak beres dengan suasana di kelasnya itu.
Perlahan-lahan ia mendongak melihat keberadaan Pak Santoso sang guru killer. Oh Tuhan, ada apa dengan gurunya itu. Mengapa Pak Santoso berubah menjadi semacho itu, dan lihat wajahnya itu, benar-benar seperti personil boyband di Korea sana. Apakah gurunya itu akan mengikuti casting di Korea sampai berpenampilan seperti itu? Setelah Rahma menajamkan penglihatannya matanya yang hampir ingin menangis itu, ia benar-benar sangat terkejut. Sosok yang sedang berdiri di depan bukanlah Pak Santoso melainkan Fachri, ketua kelasnya. Rahma benar-benar merasa sangat malu dengan tindakan cerobohnya itu. Bahkan ia sekarang sedang mengutuk dirinya di dalam hatinya. Dengan sigap, Rahma mengambil langkah seribu ke bangkunya. Sahabatnya Dwi benar-benar membuatnya sangat kesal. Bukannya menghibur dirinya, Dwi malah tertawa terbahak-bahak disampingnya. Hal yang baru saja terjadi pada sahabatnya itu benar-benar terlihat sangat lucu. Di saat para pelajar sedang pusing mencatat datang sebuah hiburan yang tak terlupakan.
“Ketawa aja terus, kalo bisa sampai koyak mulut itu” ucap Rahma dengan sangat kesal.
“Sorry. Tapi gue berterima kasih banget sama lo. Gue sama temen-temen bersyukur atas hiburan yang lo lakuin, semua rasa pusing gara-gara nyatet materi yang Masya Allah, bejibun itu bisa hilang”
“Argh, gue malu tahu. Ini sebenernya kenapa, sih? Kok malah Fachri yang nyatet?” tanya Rahma.
“Guru-guru lagi rapat. Sasha, sekretaris kita juga lagi sakit. Maka dari itu, sebagai ketua kelas yang bijaksana, Fachri yang nyatet materi di papan tulis buat kita” jelas Dwi.
“Tetep aja gue malu banget. Aaa, semenjak gue ngayal yang berlebihan, hidup gue jadi berubah dratis gini”
“Sabar, Ra” ucap Dwi mengelus punggung Rahma yang sedang terpuruk itu.
“Ketawa aja terus, kalo bisa sampai koyak mulut itu” ucap Rahma dengan sangat kesal.
“Sorry. Tapi gue berterima kasih banget sama lo. Gue sama temen-temen bersyukur atas hiburan yang lo lakuin, semua rasa pusing gara-gara nyatet materi yang Masya Allah, bejibun itu bisa hilang”
“Argh, gue malu tahu. Ini sebenernya kenapa, sih? Kok malah Fachri yang nyatet?” tanya Rahma.
“Guru-guru lagi rapat. Sasha, sekretaris kita juga lagi sakit. Maka dari itu, sebagai ketua kelas yang bijaksana, Fachri yang nyatet materi di papan tulis buat kita” jelas Dwi.
“Tetep aja gue malu banget. Aaa, semenjak gue ngayal yang berlebihan, hidup gue jadi berubah dratis gini”
“Sabar, Ra” ucap Dwi mengelus punggung Rahma yang sedang terpuruk itu.
Rahma yang sudah merasa agak tenang itu, mengambil buku catatannya dan meletakkannya di atas meja dengan kasar, sehingga menimbulkan suara yang keras. Tentu saja hal itu membuat semua mata tertuju padanya. Rahma yang merasa sedang dipelototi itu menoleh, “Apa lihat-lihat?” bentaknya. Semuanya pun segera melanjutkan catatan mereka. Oh, ternyata walaupun dia sudah terlihat tenang, rasa kesalnya masih tersimpan jauh di lubuk hatinya. Sebenarnya walaupun dia terlihat feminin, kalau sudah marah bisa menjadi sosok yang sangat mengerikan.
“Cepet, dong. Gue udah enggak tahan lagi, nih. Tadi pagi gue belum sarapan, laper banget, nih. Tuh, lo denger suaranya, ‘kan? Mereka udah pada demo” ucap Rahma membujuk Dwi. Bel istirahat sudah berbunyi beberapa detik yang lalu. Di kantin, Rahma memakan mie ayam pesanannya dengan sangat lahap. Sampai-sampai sahabatnya, Dwi, melongo melihatnya yang sedang makan itu. Rahma yang menyadari itu, melirik Dwi dan baksonya. “Kok enggak di makan? Lo enggak mau? Sini buat gue aja daripada mubazir” ucap Rahma mengambil bakso milik Dwi.
“Enak aja. Bagian gue masih lo sikat juga, lo tu kayak belum makan sebulan aja, lahap banget” ucap Dwi mengambil kembali baksonya yang telah direbut oleh Rahma itu.
“Lo ‘kan tahu sendiri, gue itu enggak bisa telat makan. Kalo sampai gitu, ya, kayak gini deh hasilnya”
“Iya, sih. Tapi, kalo dilihat-lihat dari postur tubuh lo enggak seimbang sama kebiasaan lo, deh. Lo itu enggak bisa lepas dari makanan apalagi sama cake, tapi badan lo tetep gitu-gitu juga. Enggak ada perkembangan, masih kurus” ucap Dwi meledek Rahma, dari lirikan matanya saja sangat terlihat bahwa dia sedang meledek sahabatnya itu.
“Gue juga heran. Gue udah lakuin segala cara, tapi enggak bisa juga. Ya udah, gue jalanin aja. Entar kalo udah waktunya pasti tubuh gue berisi juga, tunggu waktunya aja” ucap Rahma dengan santai.
“Ehem, Ra, Fachri tambah ganteng aja, ya”
“Emang iya? Gue enggak perhatiin, tuh, males. Kurang kerjaan banget, deh” ucap Rahma.
“Ih, lo itu, ya. Kalo sama yang fiktif aja over banget, eh, giliran sama yang nyata diabaiin. Lo mau kayak cewek di novel lo itu tapi perhatiin cowok aja males”
“Gue enggak ada waktu buat gituan. Gue masih punya banyak kerjaan yang berguna kali”
“Terserah lo, deh” ucap Dwi menyerah dengan sikap Rahma yang tak mau kalah.
“Cepet, dong. Gue udah enggak tahan lagi, nih. Tadi pagi gue belum sarapan, laper banget, nih. Tuh, lo denger suaranya, ‘kan? Mereka udah pada demo” ucap Rahma membujuk Dwi. Bel istirahat sudah berbunyi beberapa detik yang lalu. Di kantin, Rahma memakan mie ayam pesanannya dengan sangat lahap. Sampai-sampai sahabatnya, Dwi, melongo melihatnya yang sedang makan itu. Rahma yang menyadari itu, melirik Dwi dan baksonya. “Kok enggak di makan? Lo enggak mau? Sini buat gue aja daripada mubazir” ucap Rahma mengambil bakso milik Dwi.
“Enak aja. Bagian gue masih lo sikat juga, lo tu kayak belum makan sebulan aja, lahap banget” ucap Dwi mengambil kembali baksonya yang telah direbut oleh Rahma itu.
“Lo ‘kan tahu sendiri, gue itu enggak bisa telat makan. Kalo sampai gitu, ya, kayak gini deh hasilnya”
“Iya, sih. Tapi, kalo dilihat-lihat dari postur tubuh lo enggak seimbang sama kebiasaan lo, deh. Lo itu enggak bisa lepas dari makanan apalagi sama cake, tapi badan lo tetep gitu-gitu juga. Enggak ada perkembangan, masih kurus” ucap Dwi meledek Rahma, dari lirikan matanya saja sangat terlihat bahwa dia sedang meledek sahabatnya itu.
“Gue juga heran. Gue udah lakuin segala cara, tapi enggak bisa juga. Ya udah, gue jalanin aja. Entar kalo udah waktunya pasti tubuh gue berisi juga, tunggu waktunya aja” ucap Rahma dengan santai.
“Ehem, Ra, Fachri tambah ganteng aja, ya”
“Emang iya? Gue enggak perhatiin, tuh, males. Kurang kerjaan banget, deh” ucap Rahma.
“Ih, lo itu, ya. Kalo sama yang fiktif aja over banget, eh, giliran sama yang nyata diabaiin. Lo mau kayak cewek di novel lo itu tapi perhatiin cowok aja males”
“Gue enggak ada waktu buat gituan. Gue masih punya banyak kerjaan yang berguna kali”
“Terserah lo, deh” ucap Dwi menyerah dengan sikap Rahma yang tak mau kalah.
Ah, apa ini? Sepulang sekolah hujan menapaki bumi dengan deras. Tentu saja, hal itu membuat Rahma kesal, padahal ia sudah tak sabar pulang ke rumah untuk melanjutkan bacaan novelnya. Tapi sepertinya Dewi Fortuna sedang memihak pada adiknya, Amora. Rahma tiba-tiba mendapat telefon dari adiknya itu. Amora meminta kakaknya itu untuk pergi ke perpustakaan sekolah untuk mencari bahan untuk tugasnya. Setelah Rahma memikirkan permintaan adiknya itu, akhirnya ia menerima untuk membantunya, sekalian menghilangkan rasa bosan menunggu hujan reda. Setelah bahan untuk tugas adiknya itu cukup menurut Rahma, ia menengok keluar melalui jendela untuk memastikan hujan diluar.
“What? Bukannya reda malah tambah deras. Masa gue harus menerobos hujan. Bukannya disambut baik, yang ada malah bakal dimarahi Mama kalo sampai nerobos hujan” gumamnya. Rahma pun keluar perpustakaan, menuju teras sekolah menunggu hujan reda. Setelah lumayan lama di teras sekolah, Rahma melihat sosok yang melewatinya.
“Ketua kelas” batinnya. Ia ingin memanggil Fachri, namun tak jadi karena itu akan membebaninya. Ia pun menunduk, memandangi tali sepatunya. Sekolah sudah lumayan sepi, membuatnya bimbang harus menerobos hujan atau tidak. Tak lama kemudian, Rahma melihat kaki seseorang menghadapnya.
“What? Bukannya reda malah tambah deras. Masa gue harus menerobos hujan. Bukannya disambut baik, yang ada malah bakal dimarahi Mama kalo sampai nerobos hujan” gumamnya. Rahma pun keluar perpustakaan, menuju teras sekolah menunggu hujan reda. Setelah lumayan lama di teras sekolah, Rahma melihat sosok yang melewatinya.
“Ketua kelas” batinnya. Ia ingin memanggil Fachri, namun tak jadi karena itu akan membebaninya. Ia pun menunduk, memandangi tali sepatunya. Sekolah sudah lumayan sepi, membuatnya bimbang harus menerobos hujan atau tidak. Tak lama kemudian, Rahma melihat kaki seseorang menghadapnya.
Ia pun mendongakkan kepalanya, “Fachri” batinnya tersentak. Padahal Fachri sudah lumayan jauh darinya, kenapa ia kembali lagi? Ternyata Fachri kembali untuk menawarkan Rahma untuk ikut dengannya. Rahma sempat berpikir, jika ia ikut Fachri maka ia akan cepat sampai ke rumah, tapi jika ia tetap menunggu di sini, belum tentu hujan akan reda malah bisa saja hujan sampai malam. Akhirnya, ia memilih untuk ikut dengan Fachri. Ketika mereka sedang asyik berjalan dengan pikiran masing-masing, Rahma menghentikan langkahnya mencoba merasakan sentuhan tetesan hujan dengan memejamkan matanya, menikmati setiap nada gemericik hujan. Fachri yang menyadari itu pun langsung menarik tangan Rahma untuk membawanya ke dalam payungnya. Namun, karena terlalu kuat menarik, Rahma tak dapat mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh ke pelukan Fachri. Hal itu benar-benar membuat pipinya memerah bak kepiting rebus. Ia sangat malu.
“Lo baik-baik aja, ‘kan?” tanya Fachri.
“Iya, makasih. Maaf, gue jadi ngerepotin lo” jawab Rahma malu.
“Biasa aja kali. Gue enggak keberatan, kok. Apalagi kalo orangnya itu lo”
“Hah?” tanya Rahma, sepertinya ia mendengar sesuatu yang aneh keluar dari mulut Fachri.
“Eh, cepetan, nanti lo dimarahi orang rumah” ucap Fachri mengalihkan pembicaraan.
“Iya” Rahma pun tersenyum melihat Fachri yang salah tingkah. Ia pun tersenyum juga tetapi tetap melihat lurus ke depan.
“Jangan ngelamun lagi, ya. Jangan main hujan, nanti lo sakit” pesan Fachri. Fachri sebenarnya mempunyai sifat yang dingin dan jarang bicara. Rahma pun tersentak akibat perlakuan dan sikap lembut Fachri. Lama Rahma menatap setiap lekuk wajah Fachri. Dia baru sadar bahwa apa yang dikatakan Dwi memang benar. Fachri terlihat semakin tampan. Fachri yang menyadari Rahma tengah memandangnya, menggodanya. Tentu saja hal itu membuat Rahma salah tingkah dan menarik tangan Fachri untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun, Fachri tetap diam, Rahma menoleh ke belakang lalu matanya tertuju pada tangan mereka, hal itu membuatnya terkejut dan melepaskan pagutan tangannya. Hal itu membuat seutas senyuman terukir di wajah Fachri dan ia pun mengacak rambut Rahma dengan lembut kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Sesampai di rumah, Rahma berterima kasih kepada Fachri dan menatap kepergiannya. Lalu dengan wajah berseri-seri ia masuk ke rumah sambil bersenandung. Sepertinya ia berterima kasih sekali pada hujan, karena berkat hujan ia menemukan pangerannya di dunia nyata, bukan di dunia fiksi dalam novelnya itu.
“Lo baik-baik aja, ‘kan?” tanya Fachri.
“Iya, makasih. Maaf, gue jadi ngerepotin lo” jawab Rahma malu.
“Biasa aja kali. Gue enggak keberatan, kok. Apalagi kalo orangnya itu lo”
“Hah?” tanya Rahma, sepertinya ia mendengar sesuatu yang aneh keluar dari mulut Fachri.
“Eh, cepetan, nanti lo dimarahi orang rumah” ucap Fachri mengalihkan pembicaraan.
“Iya” Rahma pun tersenyum melihat Fachri yang salah tingkah. Ia pun tersenyum juga tetapi tetap melihat lurus ke depan.
“Jangan ngelamun lagi, ya. Jangan main hujan, nanti lo sakit” pesan Fachri. Fachri sebenarnya mempunyai sifat yang dingin dan jarang bicara. Rahma pun tersentak akibat perlakuan dan sikap lembut Fachri. Lama Rahma menatap setiap lekuk wajah Fachri. Dia baru sadar bahwa apa yang dikatakan Dwi memang benar. Fachri terlihat semakin tampan. Fachri yang menyadari Rahma tengah memandangnya, menggodanya. Tentu saja hal itu membuat Rahma salah tingkah dan menarik tangan Fachri untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun, Fachri tetap diam, Rahma menoleh ke belakang lalu matanya tertuju pada tangan mereka, hal itu membuatnya terkejut dan melepaskan pagutan tangannya. Hal itu membuat seutas senyuman terukir di wajah Fachri dan ia pun mengacak rambut Rahma dengan lembut kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Sesampai di rumah, Rahma berterima kasih kepada Fachri dan menatap kepergiannya. Lalu dengan wajah berseri-seri ia masuk ke rumah sambil bersenandung. Sepertinya ia berterima kasih sekali pada hujan, karena berkat hujan ia menemukan pangerannya di dunia nyata, bukan di dunia fiksi dalam novelnya itu.
**END**
EmoticonEmoticon