Gara-Gara Kates
Karya : Airi Cha
Tiba-tiba saja seperti dikejar setan, Joena melompat dari pagar kebun milik Pak Kepala kampung, Yan. Wajahnya terlihat begitu berbeda, ia berlari tanpa melihat kiri dan kanan. Maklumlah Joena berlari di pematang sawah.
"Woiii! Warga kampung Cerpenku, kumpul semuaaa!" teriak Joena histeris seakan sedang menyaksikan konser artis papan atas, Bang Iwan.
Sekejap saja seisi kampung yang sedang rehat, berhamburan dari dalam rumah masing-masing. Sutini terlihat menenteng guling busuk. Maklum matanya baru akan terpejam dan berlayar, tapi tiba-tiba saja pemilik suara cempreng itu menganggu ritualnya. Lain lagi dengan artis tiga abad, Dian Sosor bebek, dia muncul seperti Petruk. Lengkap dengan masker lumpur lapindo yang masih mengeluarkan asap.
Arman, Bcpr, Miliani, Gupron dan si Mbah serta Tio ga mau kalah. Dengan sarung yang nyaris melorot mereka balapan untuk sampai terlebih dahulu kehadapan Joena. Bagi mereka jarang-jarang cewek dekil sekelas Za membawa kabar heboh. Biasanya sih doi hanya doyan molor sambil membuat peta pulau seindonesia.
"Ade ape lu, Duyung? Siang lobong berisik dimari?" Iyem mengintrogasi. Sementara Joena sibuk mengatur napas.
"Tarik, tahan, hembuskan perlahan," intruksi Sutini demi melihat si Jerapa mendadak benggek. Joena mengikuti segala perintah si penjual nasduk yang punya body luas kayak lapangan bola itu.
"Tarik, tahan, hembuskan perla ..." ucapan Tini mengantung karena tiba-tiba.
Preet ... preet ... preeet!
Iyem mendadak mengeluarkan bom tak berwujud tetapi mematikan.
"Busyet dah, Mbak Mus! Udah berisik, bau lagi kentutnya," protesku sambil pake masker anti radiasi.
Pletak!
"Diam lu Chadoet!" ucapnya dengan tangan memegang bakiak yang baru saja buat getok palaku.
Arman, Bcpr, Miliani, Tio, serta Gufron tidak berani protes apa pun. Bagi mereka mencari aman dengan cara tutup mulut dan mencium aroma gas Iyem secara diam-diam, itu lebih baik. Dari pada harus rela kepala jadi peank.
"Eh, Duyung! Lu bawa kabar apa? Sampai kayak orang kesirupan?"
"Kesurupan kali, Mbak." Aku protes pada lidah Iyem yang sering kepeleset. Mendadak Iyem membulatkan matanya sebesar biji kedondong. Terang saja kami semua jadi gemetaran. Bukan karena takut, hanya menjaga kemungkinan agar bola mata Iyem ga berloncatan kesana kemari.
"Subahanallah, Yem! Manteman. Luar biasa," ucap Za sambil mengusap wajah.
"Apanya yang luar biasa, Mpok?" tanya Arman penasaran.
"Iya, apaaa!" Sambut kami dengan koor berjamaah.
"Kalian pasti kagak percaya kalau Gue kata," ucapnya semakin membuat penasaran.
"Iye! Lu kate-kate aja, Za." Sewot Tini sambil nguyeng-nguyeng guling busuknya.
"Biar jelas, Gue bawa aja Lu semua ke kebun Pak Yan. Lebih afdol," ucap Za seraya mengajak mereka.
Maka seperti pasukan berani mati, mereka mengikuti Za ke kebun Pak Yan. Tak lama kemudian, sampailah mereka.
"Noh liat," ucapnya sembari menunjuk ke satu arah.
Spontan para hadirin mengikuti arah telunjuk, Za. Termasuk aku.
"Luar biasa, baru kali ini aku melihat pohon pepaya berbuah kates. Ini benar-benar nyata." Berapai-api Za berujar.
Pletaakk!
"Huuu!" teriak para hadirin kecewa.
"Lu mau Gua karungi ya, Duyung?" ancam Iyem dengan kuping berasap.
"Lha salah Gue apa, Yem? Itu kan sesuatu banget!"
"Salahnya! Lu lupa bangun Jerapa! Pepaya, kates, gandul, betik, itu podo wae, sami mawon. Kagak beda!" teriak Iyem.
Lalu ....
"Tangkap, tangkap! Karungi, buang ke laut!" teriak para warga yang merasa dikadali, sambil mengejar Joena yang sudah ngacir terbirit-birit.
EmoticonEmoticon