![]() |
Cerpen Ketika Harus Melepasmu |
KETIKA HARUS MELEPASMU
Oleh : Airi Cha
Kupandangi ilalang bergoyang tertiup sang bayu. Tak terihat lagi keindahan, betapa biasa aku begitu menikmati setiap gerak daunnya. Aku merasakan sesuatu, tepat di dada. Tak mampu melukiskan sesakit apa rasa ini.
"Ra, sadarlah! jangan melakukan sesuatu yang mampu kau analisa," kata itu terngiang kembali di telinga.
"Tapi, Kak ...," kalimatku mengantung saat berserobot pandang dengan mata teduh itu.
"Jangan egois, Ra. Memaksakan sesuatu yang akan terasa lebih sakit lagi. Akhirilah sekarang, sebelum terlalu dalam dan kau tak sangup untuk melepaskannya."
Aku hanya mampu tertunduk, saat kakak mengucapkan kalimat terakhir. Apa yang disampaikan jujur kuakui dalam hati, benar adanya. Aku terlalu memaksakan keinginan, dan benar aku egois. Langit itu terlalu tinggi, sayapku akan patah sebelum mampu menembus awan. Tanpa tersadar, bulir bening menetes di pipi. Aku menangis, ntah untuk apa, ntah untuk siapa. Kebahagiaan yang kurasa beberapa waktu lalu seakan menjadi sembilu berbisa dalam hati.
Aku ingin berlari menemuinya dan menangis dalam pelukan. Mengatakkan padanya tentang segala rasa dan asa, namun tak mampu. Menghindari untuk bertemu adalah jalan yang terpilih. Hati berkecamuk, antara ingin mengatakan dan takut kehilangan. Namun jika ini terus kubiarkan yang ada kami akan sama-sama terluka.
"Ra ....,"sebuah suara menyapa lembut. Perlahan kupalingkan wajah pada suara yang sangat kukenal. Lama dia menatap dengan sendu, bulir bening yang menetes pada pipi memaksanya melangkah dan merengkuhku dalam pelukan. Aku menangis terisak, seperti seorang bocah kehilangan mainan kesayangan.
"Sesakit ini kah perasaan yang kau rasa, Ram! saat ibu tak merestui perempuan pilihanmu?" tanyaku pada sahabat terbaik, yang beberapa waktu lalu terjadi perselisihan dan berakhir dengan saling bungkam antara kami. Namun Rama hadir saat terdengar tangisku pecah pagi tadi dihujung telpon.
"Jangan menangis, Ra! aku tak pernah mampu melihatmu menangis, tapi aku dapat merasakan apa yang kau rasakan," ucapnya mencoba menenangkan.
"Aku harus bagaimana, Ram?" tanyaku dalam sisa isak.
"Aku tau kau mencintainya, Ra! karena aku tak pernah melihat kau serapuh ini. Tapi jangan menghindar darinya, katakan kebenaran. Itu bisa melegakan perasaanmu."
"Tapi, Ram ...!" kataku terhenti demi melihat tatapanmu.
"Tapi apa, Ra? kau takut kehilangan dan ia membencimu?" tanya Rama hati-hati.
Aku mengangguk pelan sekali, menarik napas dalam. Memandang ke langit pada awan yang berarak. Betapa aku takut awan itu meninggalkan birunya langit.
"Tanya dirimu, Ra. Apa yang terbaik menurut kata hati karena aku percaya kau bisa mengambil keputusan dengan baik," ucap Rama meyakinkanku. Senja itu kami lebih banyak saling diam, diantara perhiasan langit dan bumi yang sedang menunggu peralihan dari siang ke malam.
Akhirnya aku berani menyapa dirimu, dengan rasa takut. Dalam segenap kepedihan, sembilu tepat menusuk relung hati. Aku menangis dalam setiap kata terucap. Betapa aku tak mampu berhadapan denganmu, pada sosok yang selalu membuatku nyaman disetiap waktu. Lalu ... lagi-lagi aku merasa damai, saat kau mampu dengan ketulusan hati menerima apa yang aku katakan. Betapa aku akan selalu merindu sapa dan perhatian darimu. Mungkin memang lebih baik saat ini aku melepas dirimu, sebelum rasa itu kuat dan mengakar dalam sanubari. Sebelum aku atau pun kamu benar-benar merasakan perpisahan yang sangat menyakitkan.
Kupadangi rintik hujan menghujam bumi, seakan itu nyanyian hati. Derainya mewakili setiap tetes air mata. Aku mencoba ihklas, menerima ini sebagai bahagian dari babak perjalanan hidup. Tak ada sesal, menjadikan ini satu pelajaran. Walau harus jujur aku masih terseok-seok dalam melupakanmu.
Tanganku terangkat ke arah langit, berharap mampu mengapai biru dan putihnya. Namun aku tersadar, aku tak pernah punya sayap untuk mengangkasa. Akhirnya menunduk dan menatap jejak kaki yang menyentuh bumi.
**END**
EmoticonEmoticon