![]() |
Cerpen Midnight |
MIDNIGHT
Oleh: Siti nurjannah
Angin malam menembus tebalnya mantel hitam
yang membungkus tubuh ringkihku. Benda
lembab berlapis gincu merah menyala itu bergetar
menahan dingin yang menusuk bagai belati.
Kakiku terus berayun menyusuri lenggangnya
jalan yang hanya dipijari lampu neon.
Seperti malam sebelumnya, aku pergi ke club
malam untuk sekedar menyesap aroma rokok.
Aku tidak merokok, aku hanya menghirup asap
hasil hisapan orang lain. Aku juga tidak suka
minum alkohol, karena aku benci mabuk seperti
orang bodoh. Aku selalu menyukai suasana
diskotik yang penuh hingar bingar, hanya saat
itulah aku merasa hidupku tidak sendiri.
****
"Kau seperti jalang saja pulang tengah malam
begini!" Suara itu menginterupsi, kakiku berhenti
mengayun dan lalu menatapnya sinis.
"Apa pedulimu?" Mataku nyalang memandang
sosok yang tengah berdiri angkuh di depan pintu
kamarnya.
"Aku ini empat tahun lebih dulu terlahir darimu,
maka hormatlah sedikit." Wanita itu membentak.
"Kau itu masih SMA, berlakulah seperti anak
remaja selayaknya maka ibuku tak akan malu
mempunyai anak sepertimu." Lanjutnya.
"Begitukah? Padahal aku tak pernah merasa
terlahir hingga mempunyai kakak yang gila
hormat." Ucapku sambil melengos menuju
kamarku.
"Bocah sialan! Harusnya ibuku tak melahirkan
makhluk macam kau!" Pekiknya dibalik pintu jati
penyekat kamarku dengan ruang keluarga.
"Suruh ibumu untuk membuhku!" Lirihku.
Ini yang selalu kujumpai setiap harinya. Bentakan
wanita duapuluh tahunan itu yang selalu
menyambut gendang telingaku. Aku tak pernah
merasa takut sedikitpun, hanya sepertinya fungsi
telingaku akan sedikit terganggu karenanya.
****
Jika teko ajaib aladin ada di tanganku, aku tak
akan minta banyak. Aku hanya minta jin itu
melenyapkan kakakku, hingga membuat ibu
melihat aku pada akhirnya. Juga aku ingin ayah
dihidupkan kembali. Tidak banyak bukan?
Ibu selalu memberikan apa yang Renata
butuhkan. Sedangkan aku tidak, bahkan ibu tak
pernah tertarik untuk mengetahui apa
keinginanku. Ayolah bu, Renata itu hanyalah
seorang kakak yang harusnya banyak mengalah
pada aku sang adik, lalu kenapa ibu selalu
membuatnya menang?
Renata harus mati, maka aku akan mendapatkan
kehidupan. Aku hidup seperti mati, karena wanita
itu merenggut segalanya di kehidupanku. Aku
tidak ingin diam, tapi tak ada yang bisa
kulakukan selain itu. Bahkan dengan aku
menghancurkan hidupku, mata itu tetap melihat
Renata. Bukan aku, Friska.
****
Senja menemaniku menyusuri jalan setapak yang
lembab. Senyumku tak bisa kusembunyikan lagi.
Aku menyeret kaki jenjangku mendekati
gundukan tanah yang diujungnya terdapat nisan
batu bertuliskan nama belakangku, Andhika.
"Maaf ayah, Friska lupa membeli bunga untuk
ayah." Aku menyusuri nisan itu dengan tanganku,
menyeka noda kecoklatan yang tercetak oleh
tanah.
"Ayah pasti kesepian. Aku ingin menemani ayah,
tapi aku lebih ingin menemani ibu lebih dulu.
Renata lebih sering bersama ibu, jadi aku
berharap ia segera menyusul dan menemani ayah
selayaknya yang ia lakukan pada ibu." Aku
tersenyum nanar.
"Ayah doakan saja semoga waktu harapanku lebih
cepat datang." Aku bergegas dari dudukku lalu
melenggang pergi.
****
"Kenapa tidak datang ke tempat lesmu, sudah
merasa pintar kau?" Renata berteriak lagi.
"Malas, isi tempat itu hanya orang culun semua."
Jawabku seenaknya.
"Kau pikir kau keren huh? Sebenarnya apa
maumu idiot?" Renata menjambak rambut
legamku. Dia hanya wanita lemah yang
kesukaannya hanya pergi ke salon, dia tak bisa
mengalahkan aku gadis pecinta balapan liar. Aku
mencekal tangannya, lalu memutarnya ke
belakang tubuh langsing Renata.
"Mauku? Kau lenyap!" Desisku tepat di daun
telinganya. Aku menghempaskan tubuhnya ke
lantai murmer dan melenggang pergi.
"Dasar gadis bar bar, benar-benar tidak punya
sopan santun!" Gerutu rena masih sampai pada
indera pendengaranku. Aku tersenyum penuh
kemenangan.
****
Jadi, bagaimana agar wanita itu lenyap? Apa aku
sendiri yang harus melenyapkannya? Aku bukan
pembunuh. Apa aku harus menyakitinya? Tidak,
walaupun aku gadis kasar sekalipun, aku tak
pernah ingin melukai siapapun, karena aku tau
bagaimana rasanya terluka.
Cahaya di ujung sana begitu menyilaukan, suara
bising itu juga sangat menusuk di telinga. Angin
berhembus dengan kencangnya, hingga aku
limbung seketika. Bau amis itu menyeruak begitu
saja.
Aku memicingkan mata kecilku, menatap
hitamnya lagit yang tanpa bintang. Tanganku
merayap pada kepalaku yang lembab. Ah ternyata
aku baru saja menjadi korban tabrak lari, pantas
tubuhku terasa remuk begini. Tak ada yang tau
aku terluka, karena ini tengah malam yang sepi
tanpa siapapun. Aku terlelap dalam tidurku, entah
tak kuat menahan sakit atau terlalu nyaman
merebah diatas kerasnya aspal.
****
Aku tak pernah bangun sejak saat itu. Aku kecewa
karena tidak pernah menemani ibu, aku sedikit
kecewa karena pada akhirnya bukan Renata yang
menemani ayah. Aku juga kecewa kenapa aku
harus mati dengan tidak terhormat, bahkan si
penabrak sialan itu tidak mengantar mayatku.
Aku meninggalkan bumiku pada malam, waktu
yang ku sukai. Jadi aku sedikit berterimakasih
untuk itu.
yang membungkus tubuh ringkihku. Benda
lembab berlapis gincu merah menyala itu bergetar
menahan dingin yang menusuk bagai belati.
Kakiku terus berayun menyusuri lenggangnya
jalan yang hanya dipijari lampu neon.
Seperti malam sebelumnya, aku pergi ke club
malam untuk sekedar menyesap aroma rokok.
Aku tidak merokok, aku hanya menghirup asap
hasil hisapan orang lain. Aku juga tidak suka
minum alkohol, karena aku benci mabuk seperti
orang bodoh. Aku selalu menyukai suasana
diskotik yang penuh hingar bingar, hanya saat
itulah aku merasa hidupku tidak sendiri.
****
"Kau seperti jalang saja pulang tengah malam
begini!" Suara itu menginterupsi, kakiku berhenti
mengayun dan lalu menatapnya sinis.
"Apa pedulimu?" Mataku nyalang memandang
sosok yang tengah berdiri angkuh di depan pintu
kamarnya.
"Aku ini empat tahun lebih dulu terlahir darimu,
maka hormatlah sedikit." Wanita itu membentak.
"Kau itu masih SMA, berlakulah seperti anak
remaja selayaknya maka ibuku tak akan malu
mempunyai anak sepertimu." Lanjutnya.
"Begitukah? Padahal aku tak pernah merasa
terlahir hingga mempunyai kakak yang gila
hormat." Ucapku sambil melengos menuju
kamarku.
"Bocah sialan! Harusnya ibuku tak melahirkan
makhluk macam kau!" Pekiknya dibalik pintu jati
penyekat kamarku dengan ruang keluarga.
"Suruh ibumu untuk membuhku!" Lirihku.
Ini yang selalu kujumpai setiap harinya. Bentakan
wanita duapuluh tahunan itu yang selalu
menyambut gendang telingaku. Aku tak pernah
merasa takut sedikitpun, hanya sepertinya fungsi
telingaku akan sedikit terganggu karenanya.
****
Jika teko ajaib aladin ada di tanganku, aku tak
akan minta banyak. Aku hanya minta jin itu
melenyapkan kakakku, hingga membuat ibu
melihat aku pada akhirnya. Juga aku ingin ayah
dihidupkan kembali. Tidak banyak bukan?
Ibu selalu memberikan apa yang Renata
butuhkan. Sedangkan aku tidak, bahkan ibu tak
pernah tertarik untuk mengetahui apa
keinginanku. Ayolah bu, Renata itu hanyalah
seorang kakak yang harusnya banyak mengalah
pada aku sang adik, lalu kenapa ibu selalu
membuatnya menang?
Renata harus mati, maka aku akan mendapatkan
kehidupan. Aku hidup seperti mati, karena wanita
itu merenggut segalanya di kehidupanku. Aku
tidak ingin diam, tapi tak ada yang bisa
kulakukan selain itu. Bahkan dengan aku
menghancurkan hidupku, mata itu tetap melihat
Renata. Bukan aku, Friska.
****
Senja menemaniku menyusuri jalan setapak yang
lembab. Senyumku tak bisa kusembunyikan lagi.
Aku menyeret kaki jenjangku mendekati
gundukan tanah yang diujungnya terdapat nisan
batu bertuliskan nama belakangku, Andhika.
"Maaf ayah, Friska lupa membeli bunga untuk
ayah." Aku menyusuri nisan itu dengan tanganku,
menyeka noda kecoklatan yang tercetak oleh
tanah.
"Ayah pasti kesepian. Aku ingin menemani ayah,
tapi aku lebih ingin menemani ibu lebih dulu.
Renata lebih sering bersama ibu, jadi aku
berharap ia segera menyusul dan menemani ayah
selayaknya yang ia lakukan pada ibu." Aku
tersenyum nanar.
"Ayah doakan saja semoga waktu harapanku lebih
cepat datang." Aku bergegas dari dudukku lalu
melenggang pergi.
****
"Kenapa tidak datang ke tempat lesmu, sudah
merasa pintar kau?" Renata berteriak lagi.
"Malas, isi tempat itu hanya orang culun semua."
Jawabku seenaknya.
"Kau pikir kau keren huh? Sebenarnya apa
maumu idiot?" Renata menjambak rambut
legamku. Dia hanya wanita lemah yang
kesukaannya hanya pergi ke salon, dia tak bisa
mengalahkan aku gadis pecinta balapan liar. Aku
mencekal tangannya, lalu memutarnya ke
belakang tubuh langsing Renata.
"Mauku? Kau lenyap!" Desisku tepat di daun
telinganya. Aku menghempaskan tubuhnya ke
lantai murmer dan melenggang pergi.
"Dasar gadis bar bar, benar-benar tidak punya
sopan santun!" Gerutu rena masih sampai pada
indera pendengaranku. Aku tersenyum penuh
kemenangan.
****
Jadi, bagaimana agar wanita itu lenyap? Apa aku
sendiri yang harus melenyapkannya? Aku bukan
pembunuh. Apa aku harus menyakitinya? Tidak,
walaupun aku gadis kasar sekalipun, aku tak
pernah ingin melukai siapapun, karena aku tau
bagaimana rasanya terluka.
Cahaya di ujung sana begitu menyilaukan, suara
bising itu juga sangat menusuk di telinga. Angin
berhembus dengan kencangnya, hingga aku
limbung seketika. Bau amis itu menyeruak begitu
saja.
Aku memicingkan mata kecilku, menatap
hitamnya lagit yang tanpa bintang. Tanganku
merayap pada kepalaku yang lembab. Ah ternyata
aku baru saja menjadi korban tabrak lari, pantas
tubuhku terasa remuk begini. Tak ada yang tau
aku terluka, karena ini tengah malam yang sepi
tanpa siapapun. Aku terlelap dalam tidurku, entah
tak kuat menahan sakit atau terlalu nyaman
merebah diatas kerasnya aspal.
****
Aku tak pernah bangun sejak saat itu. Aku kecewa
karena tidak pernah menemani ibu, aku sedikit
kecewa karena pada akhirnya bukan Renata yang
menemani ayah. Aku juga kecewa kenapa aku
harus mati dengan tidak terhormat, bahkan si
penabrak sialan itu tidak mengantar mayatku.
Aku meninggalkan bumiku pada malam, waktu
yang ku sukai. Jadi aku sedikit berterimakasih
untuk itu.
End
EmoticonEmoticon