Minggu, Oktober 28, 2018

Cerpen Sepenggal Kisah di Sini Oleh Yan Hendra

Sepenggal Kisah di Sini
Oleh :  Yan Hendra

Dulu bentuk bangunan dan halamannya tidak seperti itu. Berpagar besi atau kawat ayam, gitu. Halamannya luas dan bangunan belum bertingkat agak menjorok ke dalam.

Sekitar daerah tempat itu belum sepadat dan seramai sekarang. Masih banyak rumah berhalaman luas. Salah satunya persis di sebelah kiri bangunan. Pemilik rumah memiliki halaman luas. Di bawah salah satu pohon rindang depan rumahnya, ia membuka warung kecil. Selain kue-kue, roti, mi instan, juga ada rokok dan kopi sachet-an.

Kisah kami tak seindah cerita-cerita remaja yang ada dalam novel. Ia sepertinya tak menginginkan saya datang sekadar memperkenalkan kepada teman-teman dekat lalu mengatakan, “Kenalin, ini ... mmng ... pacarku.” Saya hanya boleh bermimpi, sebab jangankan seperti itu. Bahkan niat untuk memperkenalkan saya dengan teman-temannya dalam bentuk dan suasana apapun tak ada dalam pikirannya.

Ia juga tak pernah mengajak jalan-jalan ke berbagai tempat yang ada di sana. Mungkin nonton, lihat daerah wisata, atau sekadar makan bakso berdua. Tidak. Walaupun saya yang bayar. Saya datang ke rumahnya, lalu mengobrol dengan seisi rumah. Sudah selesai, ya pulang!

Kesepakatan yang tak pernah kami ikrarkan adalah: saling mempercayai. Dan itu berjalan hingga kini.

Hal menarik adalah ketika seorang temannya bertamu ke rumah. Saat itu saya ada. Dia sungguh kepo. Satu pertanyaan yang selama ini mengganjal dalam benak adalah: ‘Masa iya cowok Jakarta bisa setia? Jangan-jangancewek di sini hanya untuk sekadar mainan.’

Namun yang keluar dari bibirnya adalah, “Yakin kalau dia nggak punya cowok? Segitu percayanya?”

Itu diucapkan ‘sang teman’ sambil berbisik menjelang sesi makan siang saat penghuni rumah sibuk menyiapkan segalanya.

Bagi saya pertanyaan itu adalah sindiran halus, tapi saya tak menghiraukan dan tetap menjawab dengan benar.

“Saling percaya saja,” kata saya.

Saya merasa ‘sang teman’ mencibir mendengarnya. Jawaban itu mungkin klise baginya.

Sebagai seorang gadis kampung yang lugu, ia tak punya banyak intrik dalam benaknya. Melihat saya setia, ia percaya. Ia mungkin pernah melakukan scan lewat detektor hati. Siapa yang tahu?

Lalu saya?

Tentu saja tak bisa percaya begitu saja, karena saat itu saya sedang mencari istri, bukan pacar. Tahu warung sebelah kiri sekolah yang diceritakan di atas? Nah, saya suka duduk di sana sambil minum kopi. Memandang penghuni gedung sebelah saat pulang.

Tak pernah sekali pun saya lihat ia pulang sambil berjalan bersama seorang lelaki. Atau sore hari saat ia ikut bantu sang bapak berjualan di pasar, tak pernah terlihat bercanda ria dengan begitu akrab dengan laki-laki.

Apakah Ia tahu saya memperhatikannya di warung sebelah sekolah, atau warung rokok dekat pasar? Sama sekali tidak. Setelah kami menikah baru saya beri tahu.

Ia menggeleng-gelengkan kepala.

Kalau datang ke rumahnya jam satu siang, artinya sebelum jam segitu saya sebenarnya sudah datang dan mangkal di warung sebelah sekolah. Kalau datang usai maghrib, artinya saya sudah tiba siang hari dan mengawasinya hingga petang.

Aktivitas yang kedua itu yang membuat saya kadang tiba di Jakarta menjelang dini hari. Atau terpaksa menginap di motel. Bahkan pernah menggelandang di terminal.

Cerpen Sepenggal Kisah di Sini Oleh Yan Hendra

WapPur

Terima kasih sudah membaca disini.


EmoticonEmoticon