Ramadhan
Karya: Nizam Al-Kahfi PKB
Gerry tidak sedikit pun tampak seperti orang Inggeris. Rambutnya keriting, hitam mengkilat dan ia punya jenggut. Sekali imbas, aku awalnya menyangka kami sama-sama orang asing. Ia sendiri mengakui kadang kala ia dilayan seperti orang asing di negeri Inggeris ini. Mungkin karena itu juga kami jadi akrab. Kami sama-sama berusia dua puluh tahun.
"Kita sama perahu," katanya sambil berjenaka. "Orang asing di sini. Bedanya aku orang lokal dan kau orang luar negeri."
Aku kuliah atas beasiswa pemerintah, dan seperti layaknya anak-anak muda yang baru lepas dari pengawasan orang tua, aku memanfaatkan kebebasan tersebut. Di sini, jauh dari orang tua, tidak ada kongkongan lagi dalam hidupku. Aku lebih bebas dari Gerry karena aku baru kenal erti kebebasan. Edan sepenuhnya.
Meski sudah tidak solat lagi, peminum dan pengunjung setia pub, namun apabila tiba bulan Ramadan aku akan berpuasa. Gerry heran melihat aku tidak makan dan minum sepanjang hari, dan lebih heran lagi ketika melihat aku bersahur.
"Kau gila?" tanyanya saat melihat aku sibuk di dapur waktu dinihari. "Memasak jam-jam seperti ini?"
Kami mengontrak di rumah yang sama berkongsi dapur. Aku menerangkan sedikit tentang puasaku. Sukar baginya memahami konsep berpuasa.
"Untuk apa berpuasa kalau malamnya kaumakan sampai separuh mati?"
Aku tidak bisa menjawab, karena aku juga memang tidak tau apa-apa tentang agama. Berpuasa pada bulan Ramadan itu hanya kebiasaanku sejak dari kecil lagi. Aku menyambut kedatangan Ramadan dengan gembira.
"Aku tidak paham," katanya. "Kau excited untuk tidak makan sehari-hari?"
"Sebulan tidak minum miras juga," kataku.
"Itu aku bisa terima," kata Gerry. Ia bukan seorang yang pemabuk. "Kalau bisa kau terus jangan minum-minum. Aku capek nguruskan kau kalau lagi mabuk."
Satu bulan itu aku tidak pernah mabuk, tidak mau masuk pub. Tidak bergaul bebas dengan teman-teman perempuan. Tidak bisa diprovokasi: normalnya aku sangat sensitif tentang. Sedikit saja aku merasa terhina, aku akan menendang menerjang meninju. Bukan sekali aku bergaduh. Tapi pada bulan Ramadan aku lebih banyak diam. Jika ada yang cari hal aku tenang saja seperti air yang tidak berbuaya.
Habis Ramadan aku kembali 'normal'; mabuk-mabuk, bikin kacau dan suka bergaduh jika diprovokasi. Hal yang sepele bisa jadi kelahi sampai luka-luka parah.
"Kau lebih parah dari orang Inggeris yang pemabuk," kata Gerry.
Setiap kali aku pulang lewat malam, muntah dan mabuk-mabuk, Gerry dengan sabar mengurusku. Kadang kala ia tertawa apabila melihat aku pulang dalam kondisi babak belur. Parut di kening kananku yang dirawatnya sampai sekarang masih ada.
“Tidak pandai jera,” katanya. “Badan kayak paman-paman Putri Salju, tapi bergaduhnya suka berlebih-lebihan.”
Setiap Ramadan datang, aku menjadi manusia yang paling sopan dan santun sedunia, malah pakaianku bersih setiap hari (hari-hari lain satu pakaian yang berbau arak untuk dua atau tiga pekan sekali cuci). Setelah tiga musim Ramadan di sana, Gerry sudah bisa menebak kedatangan Ramadan.
"Apa ini sudah Armordern?" tanya Gerry saat melihat aku teramat ceria dan tercium pakaianku berbau harum. Ia bisa merasakan betapa sukanya aku akan ketibaan Ramadan. Tidak kurang juga ia gembira karena ia akan aman selama sebulan dari ulahku yang buruk.
Aku tidak paham bagaimana ia bertahan jadi sahabatku. Ia sendiri juga tidak paham. Ia juga tidak paham bagaimana bulan Ramadan bisa merubahku sehingga 180°.
"Jika kau begini, aku lebih suka kalau Armordern itu sepanjang tahun," ujarnya.
Aku memandangnya, sepertinya aku pernah mendengar kata-kata yang mirip itu.
Pada Ramadan tahun terakhir aku di sana, ia ikut berpuasa. Hanya dua hari ia sanggup, dan itu pun ia minum air kalau haus.
"Sure," katanya, "I'll miss you and your Armordern."
Hingga saat berpisah, tidak pernah benar sebutan Ramadannya.
Selepas wisuda, kami masing-masing dengan haluan hidup, dan tidak mendengar kabar-berita lagi selama lebih empat puluh tahun sehingga dipertemukan semula, pada bulan Ramadan juga. Dia mampir ke rumahku bersama beberapa orang teman-temannya yang berbilang bangsa. Mereka memperkenalkan diri dari Jemaah Tabligh dengan misi mengajakku untuk solat di masjid. Ia terus bisa mengenaliku.
"Masya Allah," katanya, memelukku. "Ini teman zaman edanku, Nizam Al-Kahfi."
"Gerry?" Aku memandang mukanya. Jenggotnya sudah lebih panjang dari zaman remaja dulu, pastinya.
"Gerry Gazzali," katanya. "Sudah sekian lama aku mencarimu. Aku berterima kasih kepada Allah karena cintamu pada Ramadan."
Entah, kapan dia memeluk Islam, aku tidak tahu. Ia bisa mengenaliku karena parut di kening kananku yang dirawatnya dulu.
EmoticonEmoticon